Works better using Extreme – More than Words
Aku melihatmu duduk menangis, di sebelah tas kulit biru tua.
Di bawah kakiku, aku bisa merasakan getaran kereta bawah tanah Jakarta yang tidak pernah kutumpangi.
Aku tertawa kecil.
Aku ingin menyapamu. Menepuk pundakmu. Dan mungkin mengembalikan waktu ke sepuluh tahun sebelumnya, disaat aku membisikkan kalimat aku tidak mau kehilanganmu.
Jawabanmu saat itu, “Kamu tidak pernah memilihku. Kamu tidak pernah kehilanganku. Karena tidak ada apapun diantara kita berdua”, dan kamu berjalan tidak perduli melangkahi diriku yang tidak melakukan apapun untuk bertahan dari tuduhanmu yang mengetuk hatiku.
Aku sendiri selalu bertanya-tanya, apa jadinya seandainya kita berdua sama-sama saling membuka diri kita berdua sepuluh tahun yang lalu. Kenapa aku selalu sendirian disaat kamu berada di dalam mimpiku? Atau puluhan rumusan pertanyaan yang berujung pada perandaian bahwa jangan-jangan semua ini hanya sebuah ide gila yang cuma bersemayam di otakku.
Padahal aku yakin kau menyadari ada sebuah garis diantara kita berdua yang entah seharusnya dirobek untuk menyatukan kita berdua, atau malah dipertebal karena mungkin kita tahu dan sudah bisa melihat akhirnya, sebelum kita memulai.
Sepuluh tahun yang lalu, di stasiun ini. Di sudut yang sama. Di bangku kayu yang tidak berubah.
Aku memanggil namamu perlahan sambil mendekat.
Kamu pun melihat ke arahku dengan pandangan yang setiap kali datang di mimpiku membuat duniaku tidak bergerak semakin pelan. Terkejut dan lega. Setidaknya dari yang kutangkap.
Kamu memanggil namaku dengan suaramu yang menyerupai musim panas yang datang untuk mencairkan musim dingin kejam dan tak berarah menjomplangi musim semi. Hatiku terbang tetapi tiba-tiba terbanting dan terperosok kembali tertarik gravitasi di saat lingkaran emas bertengger di jari manismu terlihat memantulkan cahaya ke dunia nyata. Tapi aku tidak perduli.
Aku menjatuhkan ranselku, dan memelukmu. Tidak mengharapkan balasan. Hanya ingin merasakan gelembung atmosfer yang hanya bisa kamu ciptakan di saat kamu berdansa denganku, disaat kamu bercakap-cakap denganku, di saat kamu selalu menceritakan seluruh masalahmu tanpa sensor, disaat ujung lengan kita bertemu, di saat aku memperhatikan tawamu yang entah mengapa menggelikan dan menjengkelkan tetapi adiktif, di saat aku berbohong dengan mengatakan bahwa aku tidak pernah menyukaimu, dan juga semua yang terjadi kepada hidup kita berdua sepuluh tahun yang lalu.
Masih ada. Perasaan itu masih ada.
Rasa sakit yang sama juga masih ada. Nyeri dan perih yang membuatku merasa kesal terhadap waktu dan kesempatan yang tidak memberiku kesempatan untuk membuktikan bahwa tidak akan ada pria lain yang akan lebih mencintai dan menghargai seluruh bagian dari dirimu, kecuali aku.
Aku melepaskan pelukanku. Menyadari bahwa perasaan mengalahkan kesopananku, aku mundur. Dan meminta maaf padamu atas kelancanganku. Kita bertatapan, dan kau menatap wajahku dengan ribuan arti tersembunyi yang lagi-lagi membawaku kembali ke masa-masa dimana semuanya begitu rumit, selagi aku bepura-pura untuk tidak merasakan rasa sakit.
Kamu menanyakan apa yang kulakukan di sini. Kamu menanyakan alasanku kembali ke Indonesia. Kamu berkata kalau aku tidak berubah sama sekali kecuali sedikit menghitam dan rambut yang mulai sedikit memutih. Rentetan pertanyaan dan pernyataan langsung memberondongku seperti senapan mesin tanpa pengunci. Ceriwismu masih sama.
Aku menggelengkan kepala tanda tidak tahu dan tidak menyadari apa sesungguhnya apa tujuanku ada disini dan kembali ke negara kelahiranku. Jujur menghiraukan jawaban sesungguhnya yang begitu ingin berontak keluar dari penjara mentalku.
Aku hanya membiarkan waktu berjalan dan kakiku melangkah. Yang aku tahu aku ingin berada di stasiun itu.
Kamu membersihkan air mata yang masih membasahi kornea coklat milikmu setelah menertawakan pertemuan belaka tersebut.
Ketika aku bertanya mengapa kamu menangis dan duduk sendirian di stasiun ini, kamu mengalihkan perhatianku dengan menggenggam tanganku dan menarikku tanpa menunggu reaksiku. Pengalihan itu berhasil. Aku tidak memikirkan alasan mengapa kamu berada disini. Yang aku inginkan ialah mengikutimu ke bongkahan es tipis di ujung Siberia sekalipun. Menyamaratakan langkah dan denyut nadi milik kita berdua.
~~
Aku tahu hari itu akan turun hujan. Langit sudah menghitam ketika mobilmu menghentikan mesinnya di pinggir satu Pantai yang sepuluh tahun lalu aku ingat tidak pernah ada.
Tidak ada satupun kalimat yang keluar dari kita berdua sepanjang delapan belas ribu kali jarum tipis berdetak.
Aku tidak tahu apa yang ada dibenakmu, tetapi yang pasti aku bingung, sedikit takut, dan mencoba meredam perasaanku sedalam mungkin di dalam hatiku yang berlumpur dan suram.
Di sebelahku, kamu mulai menangis lagi, seperti bayi yang terjebak di antara gelombang arus semu. Aku tahu, kamu sedang kehilangan arah untuk melanjutkan ceritamu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain membiarkanmu menangis. Aku tahu berkata sesuatu tidak akan ada gunanya. Aku tahu menepuk pundakmu hanyalah akan menjadi alasan kasarku untuk berdekatan denganmu.
Pandanganmu kembali mengarah padaku.
Aku menutup kedua kelopak mataku.
Kamu menjelaskan semuanya. Bahwa tidak ada hari yang berlalu tanpa kamu memikirkan diriku. Tidak ada hari yang berlalu tanpa kamu bertanya-tanya mengapa aku tidak pernah mengabari dirimu. Kamu bilang kamu tidak mengerti perasaanmu padaku. Kamu tidak pernah mengalami hal seperti itu. Kamu tidak pernah merasakan rasa ingin yang amat sangat untuk memiliki seseorang, khususnya diriku. Seorang pria yang menjadi kekasih dan menyakiti seseorang yang dekat denganmu. Seorang pria yang entah mengapa selama 10 tahun terakhir selalu ada di kepalamu setiap kali dirimu bercinta dengan seseorang.
Kamu memelukku. Kamu mendorongku hingga kamu berbaring di dadaku yang mulai terasa sesak oleh banyaknya kupu-kupu harapan yang terbang berseliweran tanpa bisa kukendalikan.
Bibir kita berdua bertemu, berpagutan, melepaskan lelah dan kekosongan.
Ini melebihi dari apa yang selalu kutunggu dan kuharapkan.
Aku bisa merasakan setiap lekuk dan kelokan tubuhmu dengan tanganku. Pinggang. Perut. Payudara. Belaian tanganku sampai ke wajahmu. Aku masih belum berani membuka mataku.
Karena aku tahu, seandainya aku membukanya, semua khayalan ini akan hilang.
Ternyata benar, aku cuma berkhayal kita bercinta ketika kau menangis di sampingku.
Aku tahu khayalanku benar-benar keterlaluan. Aku tahu otakku dibungkus oleh penderitaan, dan juga cinta yang disirupi oleh sedikit nafsu.
Itu semua tidak nyata. Dan aku harus keluar dari semuanya.
Waktunya sudah datang untuk menghadapkan wajahku kepada kebenaran yang sebenarnya.
Matahari sore menyambut penglihatanku.
Air matamu masih mengalir memenuhi mobil ini tak terhentikan.
Aku mendekatkan tubuhku padamu. Aku memegang halus dagumu. Wajahku mendekati wajahmu. Ujung hidung kita berdua bertemu. Tetapi aku tidak menciummu, atapun mencobanya. Aku hanya membiarkan dahi kita berdua bertemu. Aku hanya menjelaskan aku ada disini, di sampingmu, walaupun ini mungkin ialah yang terakhir kalinya, tanpa satu kalimatpun.
Aku menatap erat pandanganmu. Dan memberimu isyarat bahwa aku tidak akan pernah memilikimu. Sampai akhir jaman sekalipun. Kau terlalu bebas untukku, walau kau yang terkekang. Kau terlalu sempurna untukku, tidak perduli berapa orangpun yang pernah menyentuh rambut indahmu.
Kesedihan dimatamu hilang.
Sekarang aku tahu, mengapa aku ada di stasiun tadi.
Sekarang aku tahu mengapa aku kembali ke negara ini.
Karena kau membutuhkanku. Karena aku membutuhkanmu. Bukan sebagai teman. Bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai dua manusia yang duduk dan bicara tentang lagu lama, cinta, problema, dan genggaman tangan.
I’ve read this before. It more touched after you edited the first scene